HUKUM DI ERA REFORMASI
1.
Pendahuluan
Reformasi sendiri pada
dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks (indices)
demokrasi.
Nilai-nilai dasar
demokrasi bertumpu pada 5 indeks utama yaitu : system pemilihan yang jujur
dan adil untuk jabatan-jabatan publik, keberadaan pemerintah yang terbuka,
akuntabel dan responsive, promosi dan perlindungan HAM (khususnya HAM sipil dan
politik), keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri (civil society)
dan eksistensi kepemimpinan yang “committed” pada nilai-nilai dasar
demokrasi.
Tanpa adanya komitmen
terhadap nilai-nilai universal tersebut akan terjadi “political malpractice”
yang bersifat subyektif, “sub-standard”, yang merugikan kehidupan bangsa
dan negara. Dalam praktek dan tanpa adanya standard yang baku, negara yang
paling otoriterpun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis(democratic
despotism, Muladi, 2002)
Secara ideal demokrasi
menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political machinery),
tetapi juga mengandung pandangan hidup (way of living) suatu
masyarakat. Tinggi rendahnya standar demokrasi tergantung dari berbagai
factor pendukung (facilitating conditions), seperti tingkat kemajuan
social-ekonomi, kualitas golongan menengah (intermediate structure) dan
kualitas kepemimpinan, serta penafsiran tentang makna relativisme cultural.
Pokoknya “there is probably no single word which has been more
meanings than democracy” (Muladi, Aspek Moral Dan Etika Dalam
Penegakan Hukum Pidana. Seminar Forkaphi, Jakarta, 2003.)
Politik dan kekuasan (politic
and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik akan selalu melibatkan
kelompok-kelompok orang dengan berbagai konflik kepentingan yang bersaing
untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat
bahwa yang membedakan politik negara (politics of the state) dan
politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan
kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan
menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah
berdasarkan hukum.
Dalam sistem politik (political
system), para pengambil keputusan (decision makers) selalu
mempertimbangkan masukan (input) berupa tuntutan (demands)
dari kelompok-kelompok kepentingan(interest groups) dan dukungan (support)
masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion
process), mereka merumuskan keluaran (outputs) berupa
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara
lain dalam bentuk yang utama yaitu : berbagai produk hukum (laws)
dan berbagai kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive”
maka setiap sistem politik harus memperhatikan umpan balik (feed back).
Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the
product of political system).
Demikian pula apa yang
dinamakan politik hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik
social (social policy).
Dengan demikian nampak
bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung
pada warna dan kualitas sistem politik yang memegang kendali pemerintahan.
Contoh “haatzaai artikelen” warisan kolonial, UU No. 19 tahun 1964
yang memungkinkan Presiden demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU
No. 11 PNPS 1963 pada zaman Orla dan diteruskan Orba, kooptasi kekuasaan
eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970 dan lain-lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara
sistematis dilakukan melalui, asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin
hukum.
Politisasi hukum
terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan hukum (law making
process), proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses
penciptaan kesadaran hukum (law awareness process).
Di atas disebutkan
bahwa keluaran tidak hanya berupa keputusan (decisions) berupa hukum,
tetapi juga tindakan (actions). Dalam system politik atau rezim, maka
aparatur pendukung sudah dibentuk untuk secara konsisten mempertahankan jiwa
dan semangat system politik tersebut. Termasuk para hakim yang mestinya
merupakan “deputy legislators” ikut serta dalam semangat
mesin politik.
Tidak heran apabila
dalam sistem politik yang buruk muncul “malpractice of law” atau “miscarriage
of jusrtice” berupa pelanggaran hukum dan HAM, yang dalam istilah
politik dinamakan “crimes by government”yang bersifat “extra yudicial”,
yang juga masuk kategori “political crimes”. Hal ini biasanya baru
terungkap setelah terjadi pergantian rezim. Yang menarik adalah para penentang
rezim otoriter yang sedang berkuasa, oleh rezim tersebut dinyatakan telah
melakukan “crimes against government”.
Uraian di atas
menempatkan hukum sebagai “dependent variable” dan politik sebagai
“independent variable” Dalam masa transisi dari suatu rezim otoriter menjadi
rezim demokratis terjadi pergeseran nilai, yang mengakibatkan hukum
mempunyai “dual function”, artinya poses politisasi hukum tetap
terjadi. Oleh rezim (sistem politik) baru yang reformis dan demokratis, hukum
digunakan untuk membongkar dan mempengaruhi agar tatanan social menjadi
aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum
sebagai “independent variable” terhadap kehidupan sosial politik.
Dalam hal ini bisa
dilihat pelbagai produk perundang-undangan yang muncul setelah TAP MPR-RI
No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. TAP MPR
tersebut antara lain memuat Politik dan Strategi Reformasi Sistem
Hukum baik yang bersifat structural, substantif maupun kultural.
Nonet (1988) dan
McLean (1999) mengidentifikasikan bahwa baik menempatkan hukum
sebagai “independent variable” atau sebagai “dependent variable”
sama-sama mengundang bahaya dengan konotasi yang berbeda-beda. Dalam rezim yang
otoriter yang mempraktekkan model hukum yang represif (repressive law), hukum
berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan, hukum diciptakan dan digunakan
secara “ad hoc” dengan pendekatan yuridis dogmatis, Pengaturan mengabdi
(“subordinated”) pada kekuasaan politik, diskresi bersifat oportunistik,
moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan dengan mengorbankan
moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi apa yang disebut “Tyranny of the
Law” ( how the law is taking away our liberties).
Di dalam masyarakat
yang demokratis yang mendayagunakan hukum yang responsive dan otonom,
karakteristik hubungan hukum dan kehidupan social berusaha digeser.
Legitimasi dan
kompetensi menjadi menonjol, kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai
dibicarakan, pendekatan hukum bersifat sistemik mengacu pada asas dan kebijakan
yang terpadu, pendekatan social dalam hukum dilakukan (yuridis sosiologis),
diskresi berorientasi pada tujuan, moralitas sipil membatasi kekuasaan negara,
dan terjadi integrasi antara aspirasi hukum dan politik. Namun karena
terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat menimbulkan ekses berupa
kondisi “overregulation” dan dalam hukum pidana lebih khusus disebut
“overcriminalization” berupa salah penggunaan sanksi pidana (the misuse of
criminal sanction). Hal ini pada dasarnya juga merupakan “tyranny of the law”.
- Karakteristik “tyranny of the law”
· Hukum
dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia (human liberties, human freedom);
· Semboyan
yang berkembang adalah “ there is no problem on earth that can not be solved by
legislation”;
· Orang
menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspek-aspek yang kecil dan sangat
pribadi dalam kehidupan manusia (ingat istilah “victimless crimes”);
· Hukum
positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan untuk menggunakan hukum
pidana sebagai “penekan”;
· Alasan
reformasi dan “legal supremacy” sering digunakan sebagai pembenaran;
· Setiap
pejabat baru menjadikan produk pengaturan sebagai indicator kinerja
(performance indicators);
· Terjadi
suasana “more laws but less justice”;
· Timbul
sikap negatif dan non-kooperatif masyarakat dalam penegakan hukum bahkan
menjurus kurang menghargai hukum (wibawa hukum merosot);
· Pelanggaran
hukum dan pemidanaan (misalnya dalam tindak pidana ekonomi) sering
dihayati sebagai kesialan (unlucky/unfortunate mistakes) bahkan si pelaku
sering menyebut dirinya sebagai “a victim of an unjust system. The more laws
that are enacted, the more laws there are to break”;
· Hukum
kehilangan “reasonableness or credibility”; Apa yang dikatakan sebagai
“widespread distrust of the law” menggejala;
· Alasan
kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan
hak-hak individual; (misalnya distorsi terhadap prinsip hak milik
mempunyai fungsi sosial);
· Hukum
kehilangan “moral and social framework”; toleransi dan akal manusia
dikalahkan oleh”the single-minded” social engineering instincts; Mana
yang “legal”, mana yang “moral” menjadi tidak jelas; Seperti
dikatakan Austin, bahwa “the only behind the law is
physical force (not moral and ethical)”; Selanjutnya Lord Devlin dalam
hal ini mengatakan “there is no longer a moral obligation to obey the law in
all circumstances.”; Ingat dalam hal ini perkembangan konsep “strict liability
= liability without mens rea”) dalam “administrative criminal law”;
· Tujuan
hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping the peace), bahkan
menuju ke negara polisi.
Politisasi hukum oleh
kekuasaan juga terjadi di dunia internasional. Dewan Keamanan PBB melalui
instrumen hukum internasional (misalnya resolusi) bisa menekan
negara-negara tertentu untuk kepentingan politik negara-negara “super powers”
yang sering tidak konsisten. Contohnya pelbagai pengadilan HAM yang
digelar secara selektif (selective law enforcement); Pengalaman kita
cukup banyak dalam membuat pelbagai perundang-undangan setelah reformasi, baik
di bidang social politik, HAM, KKN, Ekonomi di bawah “tekanan halus” IMF
melalui “Letter of Intent” (LOI). ( Annan, Kofi A. 2005 ). Belum
lagi tuntutan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum antar bangsa
dalam rangka kerjasama internasional di era globalisasi.
Politik dan politisasi
tidak harus berkonotasi negatif. “Politics” harus juga dilihat sebagai “the
pocess of government” dan politisasi (politization) harus dipandang sebagai
“the giving of a political character to something”. Teori politik
(political theory) bahkan penuh dan sarat dengan studi tentang falsafah
kenegaraan dan pemerintahan serta pemikiran-pemikiran yang terkait.
Istilah “political” sering berkaitan dengan pemerintahan dengan
lembaga-lembaganya.
Di bidang hukum,
apapun kedudukan variable politik, apakah
sebagai “dependent” atau “independent variable” pada akhirnya sebagai
keluaran (output) hukum sebagai policy merupakan pilihan dari sekian
alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses interaksi dalam sistem
perjuangan politik. Langkah-langkah untuk menghasilkan
kebijakan (policy) merupakan perjuangan politik yang berat, sebab
seperti pernah dibahas “politics is the struggle over the allocation of values
in society”. Terkandung di sini “lobbying, pressure, threat, bargaining and
compromise”. Peranan “legal community” adalah menjaga agar pelbagai proses
tersebut tidak keluar dari “legal principles”. Sebagai contoh adalah debat
tentang berlakunya secara retroaktif UU Pengadilan HAM ad hoc dalam pelanggaran
HAM berat di masa lalu. Seleksi melalui DPR atas dasar “political
wisdom” merupakan jalan tengah. (ada yang mengkritisi sebagai “impunity by
parliament”). Di tingkat internasional pemberlakuan secara retroaktif hukum
pidana dalam Tribunal Ad Hoc (Nurmberg, Tokyo, Former Yugoslavia,
Rwanda dll) didasarkan atas “international customary
law” dan “the principles of justice”).
Berbicara tentang
politik selalu menarik, sebab aspek politik tidak hanya berupa pengambilan
keputusan(serious decision making and action), tetapi juga “talk,
expression, picture, and image (drama and entertainment). Dan yang lebih
menarik lagi adalah pemanfaatan komunikasi massa, baik media
cetak (print media), media penyiaran (broadcasting media) maupun media
telekomunikasi/internet (cybermedia) untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini fungsi
mass media dalam politik merupakan studi tersendiri yang pada dasarnya mencakup
fungsi-fungsi :” newsmaking, interpretation, socialization, persuasion,
and agenda setting”. Pendayagunaan mass media ini secara konseptual harus tetap
dilakukan setelah proses politik menghasilkan kebijakan dan tindakan(policy and
action) dalam rangka sosialisasi dan diseminasi. Di bidang hukum misalnya
saja hal ini sangat penting untuk membentuk kesadaran hukum (law awareness).
Betapa kuatnya aroma
politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang(how
a bill becomes a law) dan pelembagaan sistem “checks and balances” dalam
pemerintahan yang demokratis serta praktek penerapan kekuasaan birokrasi
(power of the bureaucracy).
Di Indonesia
poses pembuatan undang-undang menempuh proses dan aktivitas yang
kompleks, mulai dari penyusunan rancangan akademis (academic draft or
corridor) yang penuh dengan nuansa “academic reasoning”seperti
idealisme, hasil riset normative dan empiris, kajian kecenderungan
internasional , tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural;
Kajian “legal principles” dalam tahap ini juga sangat menonjol. (Catatan
:Parasarjana hukum saat ini dinilai dilanda “legal principles crises”).
Proses ini akan dilanjutkan dengan proses birokratik (bureaucratic
process or corridor) untuk menjaga sinkronisasi vertical dan horizontal
perundang-undangan, serta konsistensi model perundang-undangan, termasuk
struktur dan terminology.
Proses terakhir yang paling kompleks adalah
proses social-politik (socio and political process or corridor)yaitu proses
pembicaran di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga
politik sangat heterogin baik dalam bidang aspirasi politik (multi partai),
latar belakang social, aspirasi daerah, maupun disiplin ilmu. Hal ini disertai
keharusan untuk selalu melihat skala prioritas (program legislasi) yang
juga penuh dengan nuansa politis.
Pengalaman di negara
demokrasi seperti di Amerika Serikat menunjukkan kenyataan yang lebih
kompleks. Proses pengenalan RUU (introduction of bill)
di Congress (House of Representatives dan Senate) sampai dengan
Rancangan menjadi UU (bill becomes law) melalui persetujuan Presiden
setelah dicapai kompromi baik di House maupun di Senat, selalu melalui debat
yang panjang dan melelahkan.
Sebagai gambaran, setiap tahun Kongress
menerima kurang lebih 10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih
hanya 400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan membosankan
(“complicated and tedious”). Lebih-lebih di Senat yang digambarkan bahwa debat
tersebut “unlimited”.
Sistem “checks and
balances” dalam kehidupan demokrasi sangat penting dan didisain untuk menjamin
bahwa secara konstitusional tiga bagian atau kekuasaan dari
pemerintahan nasional (Legislative, Executive and Judicial) bisa saling
membatasi dan mengawasi kekuasannya satu sama lain, dan mencegah
konsentrasi kekuasaan politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen
UUD 1945 saat ini , pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantab tentang
system “checks and balances” tersebut. System masa lalu (Orba)
diindentifikasikan sebagai “executive heavy”, sehingga menimbulkan
penyalagunaan kekuasaan (abuse of power). Saat ini ada yang mengkritisi sebagai
“legislatve heavy”.
Di Amerika Serikat
dapat kita lihat praktek penerapan system “check and balances” ,sekalipun suatu
RUU (Bill) tidak akan menjadi Undang-undang tanpa persetujuan
Kongress (House dan Senate), namun Presiden dapat mengajukan “veto” terhadap
keputusan Kongress tersebut. Sebaliknya Kongress dapat menolak (override)
veto Presiden dengan 2/3 suara di House dan Senat. Di
samping itu Presiden juga dapat mengusulkan undang-undang kepada Kongres dan
mengundang Kongres untuk melakukan sidang
khusus. ( Muladi, Aspek Moral Dan
Etika Dalam Penegakan Hukum Pidana. Seminar Forkaphi, Jakarta, 2003.)
Selanjutnya dapat
dilihat bahwa kekuasan Presiden untuk menunjuk kabinet dan duta
besar harus memperhatikan konfirmasi dari Senat. Presiden juga
harus mendengar nasehat dan persetujuan Senat mengenai segala perjanjian
(treaties) yang dibuat.
Kemudian , sekalipun
Presiden harus melaksanakan Undang-undang, tetapi yang menyediakan anggaran
adalah Kongress. Presiden dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang
tanpa persetujuan Konggres. Konggres juga mempunyai wewenang untuk
membentuk departemen dan badan-badan eksekutif .Selanjutnya Kongres juga
memiliki wewenang untuk melakukan “impeachment” dan mencopot Presiden
dari jabatannya karena telah melakukan kejahatan dan pelanggaran berat.
Mahkamah Agung
ditunjuk oleh Presiden , dengan konfirmasi Senat. Secara tradisional ,
Mahkamah Agung memiliki 9 anggota, tetapi Kongres dapat menentukan jumlah
hakim. Lebih penting lagi , Kongres dapat membentuk pengadilan federal
tingkat bawah maupun pengadilan banding. Kongres harus membentuk
pula jumlah hakim dan menentukan jurisdiksi pengadilan federal. Namun
demikian yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agung mempunyai
wewenang untuk melakukan “Judicial Review”. Judicial Review secara
spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup wewenang untuk
menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat Kongres dan kebijakan Presiden
melanggar konstitusi.
Aroma politik dalam
praktek birokrasi berkaitan erat dengan kenyataan bahwa perjuangan politik
(political battles) tidak akan berhenti di lembaga parlemen. Hal ini
bertentangan dengan teori bahwa “democracy is institutionalization of
conflicts” (Muladi, Politik, Hukum, dan Politik Hukum Tahun 2002
).
Yang dapat dikatakan
adalah telah terjadi pergeseran perjuangan politik dari arena politik ke arena
administrative. Kepentingan-kepentingan yang terorganisasi tidak akan puas
hanya dengan telah berhasil diundangkannya suatu Undang-undang sebagai hasil
proses politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu
implementasi hukum (implementation of the law) dan penggunaan uang
oleh aparat birokrasi.
Kekuatan birokrasi sangat
meyakinkan. Secara politis memang Presiden dan Parlemen menentukan
keberadaan Undang-undang, tetapi secara administrative dan implementatif
yang berperanan adalah birokrasi. Sebagai contoh di Amerika Serikat dengan 3
juta pegawai pemerintah federal, birokrasi federal setiap tahun
mengeluarkan 60.000 halaman peraturan birokrasi (overregulation ). Mereka
bahkan independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat. Bahkan
boleh dikatakan bahwa “Civil Service bureaucracy is a major base of power in
society”.
Birokrasi tumbuh
bersamaan dengan berkembangnya teknologi dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh
tehnokrat sangat dirasakan baik di sector publik (pemerintahan) dan sector
privat (korporasi). Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi,
lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya. Semuanya
membutuhkan spesialis. Kekuatan birokrasi lain terletak pada kenyataan
bahwa Undang-undang yang dihasilkan oleh Presiden dan parlemen
seringkali bersifat samar atau tidak jelas serta mendua (vague and
ambiguous). Tegasnya bersifat simbolik (symbolic reasons). Justru birokrasilah
yang mempunyai kesempatan dan kewenangan melalui Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri untuk memutuskan
apakah yang seharusnya dilakukan. Dalam kerangka ini sangat mudah bagi
para politisi untuk menyalahkan birokrasi . Dalam perkembangannya kemudian
birokrasi sendiri semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU
termasuk pendanaan. (bureaucracy is self perpetuating).
Parlemen sebagai
lembaga politik sebenarnya mempunyai senjata atau cara untuk membatasi
kewenangan birokrasi, seperti (a) melalui undang-undang yang
membatasi kewenangan birokrasi; (b) mengurangi budget birokrasi; (c)
melalui dengar pendapat umum dengan pemberitaan mass media luas tentang
suatu kebijakan yang dianggap “unpopular”; dan (d) mendiskusikan
keluhan-keluhan yang diarahkan terhadap birokrasi.
Terlepas dari motif
politik yang diarahkan untuk membatasi kewenangan birokrasi, namun secara
obyektif kecenderungan terjadinya “overregulation” (contoh di bidang ekonomi
dan industri) sebagai produk birokrasi patut diwaspadai, sebab akan menimbulkan
: (1) Peningkatan biaya (terutama di bidang bisnis) baik bagi pelaku bisnis
maupun konsumen apabila peraturan ekonomi yang kompleks ditaati; (2) “The
cost of compliance” dengan adanya peraturan baru sulit ditimbang dibandingkan
dengan keuntungan masyarakat; (3) “Overregulation”
menciptakan kendala bagi berkembangnya inovasi dan produktivitas;
dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sebab
birokratisasi hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang besar dan
kuat.
Politik hukum (legal
policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) di
bidang hukum harus dipahami sebagai bagian (sub-sistem) kebijakan
social (social policy) yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini
bisa mengandung dua dimensi yang “lingkaged” satu sama lain, yaitu
kebijakan kesejahteraan social (social welfare policy) dan
kebijakan perlidungan social (social defence policy).
Dengan demikian tidak
mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa mengkaji secara akurat
kebijakan social, sebab justru akar permasalahan yang akan diatasi dengan
politik hukum terdapat dalam masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan strategis
masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam
kerangka menciptakan kedamaian masyarakat. Kebutuhan strategis tersebut bisa bersumber
dari kehidupan politik, kehidupan budaya, kehidupan social atau kehidupan
ekonomi, yang seringkali antara satu dengan yang lain terjadi “interface”
(interaksi, interkoneksi dan interdependensi). Dengan demikian tidak
berkelebihan untuk menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi strategis dalam
masyarakat yaitu sebagai mekanisme pengintegrasi (law as integrative
mechanism). Juga tidak berkelebihan apabila ada hipotesis bahwa antar
hukum dan ilmu-ilmu social (social sciences) harus ada kemitraan
yang simbiotik (symbiotic partnership), antara hukum dan ilmu-ilmu
social.
Kemitraan tersebut
harus dibangun atas dasar prinsip saling menghormati (resiprocal
influences) dan bukan dalam bentuk peningkatan “intra-disciplinary
communication” dan mengurangi “inter-disciplinary exchanges” dalam
pemikiran. Hukum
dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh
masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk
menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik
bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang
luas di bidang social, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam
pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum
dan ilmu social), sehingga pelbagai informasi yang bersumber dari
keduanya tidak selalu bertemu (converge) bahkan
seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent).
Riset di bidang
hukum mempunyai landasan asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam
hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan pengetahuan untuk
menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang
berobah (changing society). Di lain pihak ahli-ahli ilmu
pengetahuan social secara relatif memiliki pemahaman yang lebih mendalam
terhadap perobahan social, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan
cenderung lebih ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun
demikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perobahan
hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan tehnis di bidang
hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk mengajukan konsep perobahan. Memang
spesialisasi dan independensi telah meningkatkan “intra-disciplinary
communication”, tetapi sekaligus juga memangkas “inter-disciplinary
exchanges in ideas”.
Riset di bidang
hukum mempunyai landasan asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam
hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan pengetahuan untuk
menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang
berobah (changing society). Di lain pihak ahli-ahli ilmu
pengetahuan social secara relatif memiliki pemahaman yang lebih
mendalam terhadap perobahan social, ekonomi dan politik dalam masyarakat,
bahkan cenderung lebih ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun
demikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perobahan
hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan tehnis di bidang
hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk mengajukan konsep perobahan. Memang
spesialisasi dan independensi telah meningkatkan “intra-disciplinary
communication”, tetapi sekaligus juga memangkas “inter-disciplinary
exchanges in ideas”.
Bahkan fakultas hukum
dan fakultas ilmu social secara eksklusif terpisah dan sebagai hasilnya, para
mahasiswa masing-masing fakultas tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan
untuk menjembatani dua disiplin tersebut.
Sebagai contoh adalah
perkembangan pemahaman tentang politik reformasi hukum (the politics of law
reform). Sebelum era reformasi, pembaharuan hukum selalu diartikan
sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai produk hukum
kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah refomasi, disamping usaha
tersebut dilanjutkan muncul dimensi baru dari “law reform”,
yakni sebagai usaha sistematik untuk melakukan demokratisasi system hukum
(democratization of legal system). Hal ini mencakup langkah-langkah
mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur system politik, menciptakan “good
governance”, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan
partisipasi masyarakat dan sebagainya.
Politik hukum harus
dirumuskan secara mendasar dalam kerangka system hukum (legal system)
yang mencakup elemen-elemen sebagai berikut :
a. Elemen
struktur hukum (legal structure) yang terdiri atas misalnya
jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan
kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan
sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan sebagai “ a kind
of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes
the action”. (Friedman, 1979).
Dengan demikian elemen struktur hukum merupakan semacam mesin (machine);
b. Elemen
substansi hukum (legal substance) yang dapat diartikan sebagai pelbagai
peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam system. Pada
intinya merupakan hukum (the law) yang mengatur pelbagai norma,
nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di sini “living
law” yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Substansi
hukum bisa difahami dengan melihat misalnya berapa orang yang ditahan
karena tindak pidana narkotika per tahun, gambaran statistik kejahatan seksual
di suatu daerah dan sebagainya. Dengan demikian “legal substance”
berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau
struktur hukum di atas. (substance is what the machine manufactures or
does);
c. Elemen
kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai “people’s
attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and
expectations”. Dengan kata lain hal ini merupakan bagian dari “general
culture” yang berkaitan dengan system hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa
masyarakat bawah tidak percaya pada polisi, para pengusaha banyak menyelesaikan
perkara di luar pengadilan, untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kajahatan
komputer di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan, hal ini semua
merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian “legal culture”
merupakan “whatever or whoever decides to turn the machine
(the legal structure) on and off, and determines how it will be used.
Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komuniti mempunyai suatu budaya hukum.
Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and
opinions about law). Harus dipahami pula berkembangnya pelbagai “subcultures”, misalnya
di Amerika sub kultur orang hitam dan putih, tua dan muda, Kristen dan
Islam, kaya dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa dan kota dan sebagainya.
Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan adalah “the legal
culture of insiders”, misalnya saja kultur yang dihayati oleh hakim
dan penasehat hukum yang bekerja di dalam system hukum itu sendiri. Hal ini
akan banyak berarti bagi effektivitas sistem hukum tersebut.
Dari sisi ketahanan
nasional hal ini sangat berarti, karena seluruh aktor yang terlibat dalam
pencapaian cita-cita dan tujuan nasional, baik pemerintah (negara), lembaga
masyarakat dan lembaga privat harus dilibatkan dalam mengelola segala resources baik
dengan pendekatanengineering resilience; ecological resilience maupun anticipatory
resilence, mengahadapi kehidupan nasional, regional dan internasionmal yang
semakin kompleks, unpredictable dan penuh dengan hal-hal yang
bersifat surprised (Muladi, 2006).
Keterlibatan dan intertwine ketiganya harus dilandasi semangat sinergis,
bukan dalam posisi bersaing dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Itulah sebabnya
pengertian good, yang sekaligus mengandung makna smart,
di samping mengandung nilai-nilai effisien dan effektif, juga selalu
mendayagunakan soft dan hard power, melalui
supremasi hukum.
Prinsip-prinsip good
governance di samping supremasi hukum dan good
governance sama-sama merupakan nilai dasar demokrasi, nampak bahwa elemen
kepastian hukum/supremasi hukum/taat hukum/rule of law/aturan
hukum/penegakan hukum, selalu menonjol sebagai karakteristik good
governance.
Yang harus dicatat
saat ini adalah :
1) sejak
bergulirnya reformasi pada tahun 1998, banyak sekali langkah-langkah
politik (legislasi dan kebijakan) yang telah dilakukan untuk menegakkan nilai
dasar demokrasi, termasuk supremasi hukum dan usaha menegakkan pemerintahan
yang transparan, akuntabel dan responsif;
2) kebaradaan
supremasi hukum dan good governance merupakan indeks daya
saing (competitiveness index) dalam kehidupan antar bangsa (institutions
variable) yang berpengaruh terhadap penilaian bangsa lain terhadap
Indonesia, termasuk elemen prediktabilitas dalam hubungan politik, ekonomi,
sos-bud, militer dll; ranking daya saing Indonesia pada tahun 2008-2009 adalah
no. 55 dari 134 negara;
3) kualitas
kelembagaan dan peran tiga pilar good governance (pemerintah, civil
society dan sektor swasta) masih belum memuaskan dan harus terus
ditingkatkan, khusunya dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan
nasional.
3.Kerangka Konseptual
Istilah “politics” dapat diartikan
sebagai “the human interactions involved in the authoritative allocations of
values for society. It involves people deciding, or having decided for them,
how to distribute material goods and services, or even symbolic values,
and it includes the procedures and “power plays” involved in reaching, those
decisions.” (Muladi, Politik, Hukum, Politik Hukum I,
II, III, IV, V, VI, Tahun 2002).
Politik dan kekuasan (politic and power)
tak dapat dipisahkan, sebab politik akan selalu melibatkan
kelompok-kelompok orang dengan pelbagai konflik kepentingan yang bersaing
untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat
bahwa yang membedakan politik negara (politics of the state) dan
politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan
kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan
menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah
berdasarkan hukum.
Dalam system politik (political
system), para pengambil keputusan (decision makers) selalu
mempertimbangkan masukan (input) berupa tuntutan (demands)
dari kelompok-kelompok kepentingan(interest groups) dan dukungan (support)
masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion
process), mereka merumuskan keluaran (outputs)
berupakeputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions)
antara lain dalam bentuk yang utama yaitu : pelbagai produk
hukum (laws) dan pelbagai kebijakan umum (general policies).
Apabila ingin “survive” maka setiap system politik harus memperhatikan
umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya
merupakan produk system politik (the product of political system).
Demikian pula apa yang
dinamakan politik hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik
sosial (social policy).
Dengan demikian nampak
bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada
warna dan kualitas system politik yang memegang kendali pemerintahan.
4. Landasan
Teori
Teori dan asas hukum
merupakan mekanisme pengendali untuk secara relatif menjaga agar supaya
distorsi terhadap pendayagunaan hukum sebagai kebijakan dan langkah politik
tidak terjadi, dan memfungsikan hukum secara konsisten sebagai salah satu pilar
utama demokrasi. Teori, yang merupakan hubungan antar variable yang telah
didukung oleh riset ilmiah, baik yang bersumber pada disiplin ilmu pengetahuan
yang baku(disciplines) maupun yang bersumber pada pelbagai
ilmu bantu (allied science), secara sistemik dan
berkelanjutan akan terus memperkaya kebijakan social, baik yang berupa
kebijakan kesejahteraan maupun kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya
menggambarkan (to describe), menjelaskan (to explain),
merenungkan (to contemplate), mengungkap (to reveal), tetapi
juga memprediksi (to predict) apa yang akan terjadi di masa depan.
Integritas teori dijamin dari karakteristik intelektual yang menghormati “academic
freedom” dan “academic culture” yang diharapkan selalu memberikan
pencerahan atas dasar kebenaran (truth) dan bukan pembenaran (justification).
Selanjutnya asas-asas
hukum (legal principles, rechtsbeginselen) merupakan ukuran
legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum (Muladi,
2003). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari
undang-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat transcendental, atau
melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera.
Asas-asas ini bersifat “open-ended, multi-interpretable, dan
Gesellschaftsgebunden” dan bukannya bersifat absolut. Hal ini
kadang-kadang berkonotasi negatif karena konstelasi politik di suatu saat bisa
berpengaruh. Ingat konsep negara integralistik yang mendistorsi
asas negara hukum (equaity before the law).
Asas-asas hukum adalah
tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang dapat
diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang
berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan yang
memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum (Paul Scholten).
Asas-asas hukum adalah
ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan
, yang hidup di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk
undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut
bekerja dalam mewujudkan undang-undang (Buscaglia, 2003)
Asas-asas hukum itu
untuk sebagian dapat diketemukan dengan menyelidiki pikiran-pikiran yang
memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada,
sebagaimana dipositifkan dalam perundang-undangan dan yurisprudensi, dan untuk
sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang
secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Wiarda).
Theori tentang
Effektivitas penegakkan hukum (law enforcement, Joseph
golstein, 1998) dikaitkan dengan teori tentang legal
system dari Friedmann.
- Penegakkan hukum pada hakikatnya harus menegakkan semua
spirit hukum, baik yang berkaitan dengn nilai-nilai yang mendasari norma
hukum, maupun norma hukum itu sendiri. Cita-cita tersebut sulit dicapai,
karena hukum harus menjaga keseimbangan antara kepentingan public
dan kepentingan warganegara. Dengan demikian penegakan hukum tahap ini
yang disebut penegakkan hukum total (total enforcement) tidak mungkin
tercapai, sebab dibatasi dengan pelbagai ketentuan hukum acara yang
mengaturnya;
B. Penegakan
hukum total terebut setelah dikurangi dengan pelbagai pembatasan yang ditur dalam
hukum acara tersebut menampilkan apa yang dinamakan konsep penegakan
hukum yang penuh (full enforcement), yang diharapkan akan dapat ditegakkan
secara effektif. Namun ternyata hukum selalu mengenal keterbatasan baik
karena kualitas hukum yang tidak sempurna; kualitas sumberdaya manusia yang
berkaitan dengan mental atau intelektualitasnya; keterbatasan dalam sarana dan
prasarana hukum yang tersedia; atau karena partisipasi dari masyarakat yang
kurang memadai. Dengan demikian yang tampil adalah pelbagai diskresi
(kebijaksanaan) hukum yang dilakukan oleh pra penegakan hukum karena
kondisi di lapangan;
C. Kekurangan-kekurangan
tersebut menampilkan apa yang disebut penegakan hukum actual (actual
Enforcement) yang dirasakan memiliki pelbagai kekurangan dari sisi substansi,
struktur maupun budaya hukum ini adalah kesenjangan antara harapan dan
kenyataan;
D. Diskresi
hukum yang terjadi dilapangan tersebut apabila dikaji dengan baik, justru akan
sangat bermanfaat bagi pembaharuan hukum (law reform); law reform tersebut akan
merupakan penemuan penelitian yang merupakan feed back peneggakan hukum, berupa
peta pembaharuan hukum .
Teori Legal system,
dari Friedman; Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka
system hukum (legal system) yang mencakup elemen-elemen
sebagai berikut :
A. Elemen
struktur hukum (legal structure) yang terdiri atas misalnya
jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan
kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan
sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan sebagai “ a kind
of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes
the action”. (Friedman, 1979). Dengan demikian
elemen struktur hukum merupakan semacam mesin (machine);
B. Elemen
substansi hukum (legal substance) yang dapat diartikan sebagai pelbagai
peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam system. Pada
intinya merupakan hukum (the law) yang mengatur pelbagai norma,
nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di sini “living
law” yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Dengan
demikian “legal substance” berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan
atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. (substance is
what the machine manufactures or does);
C. Elemen
kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai “people’s
attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and
expectations”. Dengan kata lain hal ini merupakan bagian dari “general
culture” yang berkaitan dengan system hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa
masyarakat bawah tidak percaya pada polisi, para pengusaha banyak menyelesaikan
perkara di luar pengadilan, untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kajahatan komputer
di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan, hal ini semua merupakan
refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian “legal culture”
merupakan “whatever or whoever decides to turn the machine
(the legal structure) on and off, and determines how it will be used.
Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komuniti mempunyai suatu budaya hukum.
Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and
opinions about law).
5. Penutup.
Ketahanan politik hukum dewasa ini cenderung
menurun yang disebabkan oleh berbagai faktor terutama aspek kehidupan politik
nasional, kondisi politik di daerah, penegakan hukum yang belum sesuai, dan
perkembangan lingkungan strategis. Selain itu, tingkat ketahanan politik hukum,
sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan nasional dan pembangunan
daerah, oleh karena itu harus dilaksanakan secara terencana, terintegrasi dan
terkoordinasi.
Ketahanan politik yang tangguh dapat
digambarkan oleh kebijakan politik hukum pemerintahan negara yang
seimbang, selaras dan serasi dengan aspirasi/keinginan masyarakat. Oleh sebab
itu, kebijakan pemerintah harus berkeadilan dan berpihak kepada daerah dan
masyarakat selaku pemegang kedaulatan sehingga ketahanan nasional secara
keseluruhan akan meningkat.
Untuk itulah diperlukan beberapa hal, antara
lain sebagai berikut:
1. Pemerintahan
berdasarkan konstitusi. Konstitusi di samping produk hukum juga merupakan
dokumen organik pemerintahan yang mengatur kekuasaan dari
pilar-pilar yang berbeda sekaligus acuan batasan kewenangan pemerintah;
2. Pemilihan
umum yang demokratis. Pejabat yang memimpin pemerintahan dipilih secara
bebas oleh warganegara dalam cara yang terbuka dan jujur; akses bagi semua
warganegara;
3. Desentralisasi
kekuasaan atau tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah agar semakin
dekat dengan rakyatnya, maka ia akan semakin effektif dan semakin
dapat dipercaya. Prinsip demokrasi mengharuskan desentralisasi kekuasaan
dan tanggungjawab, terutama di negara besar seperti Indonesia dengan wilayah
luas serta heterogin;
4. Pembuatan
undang-undang memerlukan masukan yang besar dari warganegara baik
langsung atau tidak langsung. Kuncinya bukan pada tata cara atau forum
yang menghasilkan, tetapi pada sifat keterbukaan prosesnya bagi warganegara dan
perlunya pemahaman terhadap harapan rakyat;
5. Sistem
peradilan yang independen. Hakim tidak boleh terganggu oleh politik. Pengadilan
juga menjadi pembela terbesar hak-hak individu;
6. Kekuasaan
lembaga kepresidenan . Pimpinan eksekutif harus mampu memikul tanggungjawab
pemerintahan, mulai dari administrasi sederhana sebuah program sampai dengan
menggerakkan angkatan bersenjata untuk membela Negara semasa perang, ataupun
mendapat gangguan dan ancaman dari Negara lain / tetangga. Pada saat yang
sama konstitusi harus membatasi kewenangannya atas dasar prinsip
pemisahan kekuasaan untuk mencegah kediktatoran. Presiden di samping harus
cakap, juga harus bisa bekerjasama dengan lembaga legislative
dan rakyat. Presiden merupakan abdi dan bukannya majikan bagi rakyat;
7. Peran
media massa yang bebas. Surat kabar, radio dan televisi yang bebas akan terkait
dengan hak publik untuk tahu,. Media masa harus bisa menginvestigasi jalannya
pemerintahan dan melaporkannya tanpa takut adanya penuntutan. Pers yang bebas
merupakan penjaga demokrasi. Pers adalah pengganti warga, melaporkan kembali
melalui media cetak dan penyiaran apa yang ditemukannya sehingga masyarakat
bisa bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Dalam masyarakat modern dan
kompleks, rakyat bergantung pada pers. Pembungkaman media merupakan salah satu
indicator kediktatoran;
8. Peran
strategis kelompok-kelompok kepentingan. Dengan semakin kompleksnya masyarakat
modern, maka agar suara rakyat didengar perlu dibentuk kelompok-kelompok lobi,
kelompok-kelompok penyokong kepentingan publik dan swasta, serta LSM yang
khusus bekerja untuk satu masalah. Mereka juga mendidik publik dan pembuat
undang-undang tentang masalah tertentu, apalagi dengan bantuan IT seperti
internet;
9. Hak
masyarakat untuk tahu. Dalam hal ini pemerintah sebisa mungkin harus terbuka,
yang artinya, gagasan dan keputusannya harus terbuka bagi pengujian publik
secara seksama. Misalnya bagaimana uang pajak digunakan, apakah penegakan hukum
efisien dan efektif, apakah wakil-wakil rakyat bertindak secara
bertanggungjawab. Tidak ada pemerintahan demokratis yang bisa bekerja
dalam kerahasiaan. Namun demikian hak unuk memperoleh informasi juga ada
batasannya;
1. Melindungi
hak-hak minoritas. Jika demokrasi diartikan sebagai kehendak mayoritas, maka
salah satu masalah besar adalah bagaimana minoritas diperlakukan. Minoritas
harus diartikan dalam kerangka ras, agama atau etnis;
11. Kontrol sipil
atas militer. Dalam demokrasi militer bukan hanya harus berada di bawah kontrol
kewenangan sipil sepenuhnya, namun ia juga harus memiliki budaya yang
menegaskan bahwa peran tentara adalah abdi dan bukannya penguasa masyarakat.
Tugasnya melindungi demokrasi dan bukan menguasainya.