Selasa, 04 Oktober 2016

HUKUM DI ERA REFORMASI

( Dalam Perspektif Penegakan Hukum )


1.        Pendahuluan

Reformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks (indices) demokrasi.
Nilai-nilai dasar demokrasi bertumpu pada 5 indeks utama yaitu : system pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan publik, keberadaan pemerintah yang terbuka, akuntabel dan responsive, promosi dan perlindungan HAM (khususnya HAM sipil dan politik), keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri (civil society) dan eksistensi kepemimpinan yang “committed” pada nilai-nilai dasar demokrasi.
Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal tersebut akan terjadi “political malpractice” yang bersifat subyektif, “sub-standard”, yang merugikan kehidupan bangsa dan negara. Dalam praktek dan tanpa adanya standard yang baku, negara yang paling otoriterpun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis(democratic despotism, Muladi, 2002)
Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political machinery), tetapi juga mengandung  pandangan hidup (way of living) suatu masyarakat. Tinggi rendahnya  standar demokrasi  tergantung dari berbagai factor pendukung (facilitating conditions), seperti tingkat kemajuan social-ekonomi, kualitas golongan menengah (intermediate structure) dan kualitas kepemimpinan, serta penafsiran tentang makna relativisme cultural. Pokoknya “there is probably no single  word which has been more meanings than democracy” (Muladi, Aspek Moral Dan Etika Dalam Penegakan Hukum Pidana. Seminar Forkaphi, Jakarta, 2003.)
Politik dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik  akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan berbagai  konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa  yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya  dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi  dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
Dalam sistem politik (political system), para  pengambil keputusan (decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input)  berupa tuntutan (demands)  dari kelompok-kelompok kepentingan(interest groups) dan dukungan (support)  masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs)  berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk yang utama yaitu :  berbagai produk hukum (laws) dan berbagai kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap sistem politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the product of political system).
Demikian pula apa yang dinamakan politik hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik social (social policy).
Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang memegang kendali pemerintahan. Contoh  “haatzaai artikelen” warisan kolonial, UU No. 19 tahun 1964 yang memungkinkan Presiden demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS 1963 pada zaman Orla dan diteruskan Orba, kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lain-lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara sistematis dilakukan melalui, asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin hukum.
Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness process).
Di atas disebutkan bahwa keluaran tidak hanya berupa keputusan (decisions) berupa hukum, tetapi juga tindakan (actions). Dalam system politik atau rezim, maka aparatur pendukung sudah dibentuk untuk secara konsisten mempertahankan jiwa dan semangat  system politik tersebut. Termasuk para hakim yang mestinya merupakan “deputy legislators” ikut serta  dalam semangat mesin politik.
Tidak heran apabila dalam sistem politik yang buruk muncul “malpractice of law” atau “miscarriage of jusrtice” berupa pelanggaran hukum dan HAM, yang dalam istilah politik dinamakan “crimes by government”yang bersifat “extra yudicial”,  yang juga masuk kategori “political crimes”. Hal ini biasanya baru terungkap setelah terjadi pergantian rezim. Yang menarik adalah para penentang rezim otoriter yang sedang berkuasa, oleh rezim tersebut dinyatakan telah melakukan “crimes against  government”.
Uraian di atas menempatkan hukum sebagai “dependent variable” dan politik sebagai “independent variable” Dalam masa transisi dari suatu rezim otoriter menjadi rezim demokratis terjadi pergeseran nilai,  yang mengakibatkan hukum mempunyai “dual function”, artinya poses politisasi hukum tetap terjadi. Oleh rezim (sistem politik) baru yang reformis dan demokratis, hukum digunakan untuk  membongkar dan mempengaruhi agar tatanan social menjadi aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum sebagai “independent variable” terhadap kehidupan sosial politik.
Dalam hal ini bisa dilihat pelbagai produk perundang-undangan yang muncul setelah TAP MPR-RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. TAP MPR tersebut antara lain memuat Politik dan Strategi  Reformasi Sistem Hukum baik yang bersifat structural, substantif maupun kultural.
Nonet (1988) dan McLean (1999) mengidentifikasikan  bahwa baik menempatkan hukum sebagai “independent variable” atau sebagai “dependent variable” sama-sama mengundang bahaya dengan konotasi yang berbeda-beda. Dalam rezim yang otoriter yang mempraktekkan model hukum yang represif (repressive law), hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan, hukum diciptakan dan digunakan secara “ad hoc”  dengan pendekatan yuridis dogmatis,  Pengaturan mengabdi (“subordinated”) pada kekuasaan politik,  diskresi bersifat oportunistik, moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan  dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi apa yang disebut “Tyranny of the Law”  ( how the law is taking away our liberties).
Di dalam masyarakat yang demokratis yang mendayagunakan hukum yang responsive dan otonom,  karakteristik hubungan hukum dan kehidupan social berusaha digeser.
Legitimasi dan kompetensi menjadi menonjol, kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai dibicarakan, pendekatan hukum bersifat sistemik mengacu pada asas dan kebijakan yang terpadu, pendekatan social dalam hukum dilakukan (yuridis sosiologis), diskresi berorientasi pada tujuan, moralitas sipil membatasi kekuasaan negara, dan  terjadi integrasi antara aspirasi hukum dan politik. Namun karena terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat menimbulkan ekses berupa  kondisi “overregulation” dan dalam hukum pidana lebih khusus disebut “overcriminalization” berupa salah penggunaan sanksi pidana (the misuse of criminal sanction). Hal ini pada dasarnya juga merupakan “tyranny of the law”.

  1. Karakteristik “tyranny of the law”
·         Hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia (human liberties, human freedom);
·         Semboyan yang berkembang adalah “ there is no problem on earth that can not be solved by legislation”;
·         Orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspek-aspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia (ingat istilah “victimless crimes”);
·         Hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”;
·         Alasan reformasi dan “legal supremacy”  sering digunakan sebagai pembenaran;
·         Setiap pejabat baru menjadikan  produk pengaturan sebagai indicator kinerja (performance indicators);
·         Terjadi suasana “more laws but less justice”;
·         Timbul sikap negatif dan non-kooperatif masyarakat dalam penegakan hukum bahkan menjurus kurang menghargai hukum (wibawa hukum merosot);
·         Pelanggaran hukum  dan pemidanaan (misalnya dalam tindak pidana ekonomi) sering dihayati sebagai kesialan (unlucky/unfortunate mistakes) bahkan si pelaku sering menyebut dirinya sebagai “a victim of an unjust system. The more laws that are enacted, the more laws there are to break”;
·         Hukum kehilangan “reasonableness or credibility”; Apa yang dikatakan sebagai “widespread distrust of the law” menggejala;
·         Alasan kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan hak-hak individual; (misalnya distorsi terhadap  prinsip hak milik mempunyai fungsi sosial);
·         Hukum kehilangan “moral and social framework”; toleransi dan  akal manusia  dikalahkan oleh”the single-minded” social engineering instincts; Mana yang “legal”,  mana yang “moral” menjadi tidak jelas; Seperti dikatakan Austin, bahwa “the only behind the law is physical force (not moral and ethical)”; Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan “there is no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances.”; Ingat dalam hal ini perkembangan konsep “strict liability = liability without mens rea”) dalam “administrative criminal law”;
·         Tujuan hukum  menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi.

Politisasi hukum oleh kekuasaan juga terjadi di dunia internasional. Dewan Keamanan PBB melalui instrumen hukum internasional (misalnya resolusi)  bisa menekan negara-negara tertentu untuk kepentingan politik negara-negara “super powers” yang sering tidak konsisten. Contohnya  pelbagai pengadilan HAM yang digelar secara selektif (selective law enforcement);  Pengalaman kita cukup banyak dalam membuat pelbagai perundang-undangan setelah reformasi, baik di bidang social politik, HAM, KKN, Ekonomi di bawah “tekanan halus” IMF melalui “Letter of Intent” (LOI). ( Annan, Kofi A. 2005 ). Belum lagi tuntutan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum antar bangsa dalam rangka kerjasama internasional di era globalisasi.
Politik dan politisasi tidak harus berkonotasi negatif. “Politics” harus juga dilihat sebagai “the pocess of government” dan politisasi (politization) harus dipandang sebagai “the giving of a political character  to something”. Teori politik (political  theory) bahkan penuh dan sarat dengan studi tentang falsafah kenegaraan  dan pemerintahan serta pemikiran-pemikiran yang terkait. Istilah “political” sering berkaitan dengan pemerintahan dengan lembaga-lembaganya.
Di bidang hukum, apapun  kedudukan variable politik, apakah sebagai “dependent” atau “independent variable” pada akhirnya sebagai keluaran (output) hukum sebagai policy merupakan pilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk  menghasilkan kebijakan (policy) merupakan perjuangan politik yang berat, sebab seperti pernah dibahas “politics is the struggle over the allocation of values in society”. Terkandung di sini “lobbying, pressure, threat, bargaining and compromise”. Peranan “legal community” adalah menjaga agar pelbagai proses tersebut tidak keluar dari “legal principles”. Sebagai contoh adalah debat tentang berlakunya secara retroaktif UU Pengadilan HAM ad hoc dalam pelanggaran HAM  berat di masa lalu. Seleksi melalui DPR atas dasar “political wisdom” merupakan jalan tengah. (ada yang mengkritisi sebagai “impunity by parliament”). Di tingkat internasional pemberlakuan secara retroaktif hukum pidana dalam Tribunal Ad Hoc (Nurmberg, Tokyo, Former Yugoslavia, Rwanda dll) didasarkan atas “international customary law” dan “the principles of justice”).
Berbicara tentang politik selalu menarik, sebab aspek politik tidak hanya berupa pengambilan keputusan(serious decision making and action), tetapi juga “talk, expression, picture, and image (drama and entertainment). Dan yang lebih menarik lagi adalah pemanfaatan komunikasi massa, baik media cetak (print media), media penyiaran (broadcasting media) maupun media telekomunikasi/internet (cybermedia) untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini fungsi mass media dalam politik merupakan studi tersendiri yang pada dasarnya mencakup fungsi-fungsi :” newsmaking, interpretation, socialization, persuasion, and agenda setting”. Pendayagunaan mass media ini secara konseptual harus tetap dilakukan setelah proses politik menghasilkan kebijakan dan tindakan(policy and action) dalam rangka sosialisasi dan diseminasi. Di bidang hukum misalnya saja hal ini sangat penting untuk membentuk kesadaran hukum (law awareness).
Betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang(how a bill becomes a law) dan pelembagaan sistem “checks and balances” dalam pemerintahan yang demokratis serta  praktek penerapan kekuasaan birokrasi (power of the bureaucracy).
Di Indonesia  poses pembuatan undang-undang  menempuh proses dan aktivitas yang kompleks, mulai dari penyusunan rancangan akademis (academic draft or corridor) yang penuh dengan nuansa “academic reasoning”seperti idealisme, hasil riset normative dan empiris, kajian kecenderungan internasional , tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural; Kajian “legal principles” dalam tahap ini juga sangat menonjol. (Catatan :Parasarjana hukum saat ini dinilai dilanda “legal principles crises”). Proses ini akan dilanjutkan dengan  proses birokratik (bureaucratic process or corridor) untuk menjaga sinkronisasi vertical dan horizontal perundang-undangan, serta konsistensi  model perundang-undangan, termasuk struktur dan terminology.
Proses terakhir yang paling kompleks adalah proses social-politik (socio and political process or corridor)yaitu proses pembicaran di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga politik sangat heterogin baik dalam bidang aspirasi politik (multi partai), latar belakang social, aspirasi daerah, maupun disiplin ilmu. Hal ini disertai keharusan untuk selalu melihat skala prioritas  (program legislasi) yang juga penuh dengan nuansa politis.
Pengalaman di negara demokrasi seperti di Amerika Serikat menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks.  Proses pengenalan RUU (introduction of bill)  di Congress (House of Representatives  dan Senate) sampai dengan Rancangan menjadi UU (bill becomes law)  melalui persetujuan Presiden setelah dicapai kompromi baik di House maupun di Senat, selalu melalui debat yang panjang dan melelahkan.
Sebagai gambaran, setiap tahun Kongress menerima kurang lebih 10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih hanya 400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan membosankan (“complicated and tedious”). Lebih-lebih di Senat yang digambarkan bahwa debat tersebut “unlimited”.
Sistem “checks and balances” dalam kehidupan demokrasi sangat penting dan didisain untuk menjamin bahwa  secara konstitusional  tiga bagian atau kekuasaan  dari pemerintahan nasional (Legislative, Executive and Judicial) bisa saling membatasi dan mengawasi kekuasannya  satu sama lain, dan mencegah konsentrasi kekuasaan politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen UUD 1945 saat ini , pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantab tentang system “checks and balances” tersebut. System masa lalu (Orba)  diindentifikasikan sebagai “executive heavy”, sehingga menimbulkan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power). Saat ini ada yang mengkritisi sebagai “legislatve heavy”.
Di Amerika Serikat dapat kita lihat praktek penerapan system “check and balances” ,sekalipun suatu RUU  (Bill) tidak akan  menjadi Undang-undang tanpa persetujuan  Kongress (House dan Senate), namun Presiden  dapat mengajukan “veto” terhadap  keputusan Kongress tersebut.  Sebaliknya Kongress dapat menolak (override) veto Presiden  dengan  2/3 suara  di  House dan Senat. Di samping itu Presiden juga dapat mengusulkan undang-undang kepada Kongres dan mengundang  Kongres untuk melakukan sidang khusus.     Muladi, Aspek Moral Dan Etika Dalam Penegakan Hukum Pidana. Seminar Forkaphi, Jakarta, 2003.)
Selanjutnya dapat dilihat bahwa kekuasan Presiden untuk menunjuk  kabinet dan duta besar  harus memperhatikan  konfirmasi dari Senat. Presiden juga harus mendengar nasehat dan persetujuan Senat mengenai segala perjanjian (treaties) yang dibuat.
Kemudian , sekalipun Presiden harus melaksanakan Undang-undang, tetapi yang menyediakan anggaran adalah Kongress. Presiden dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang tanpa persetujuan Konggres. Konggres juga  mempunyai wewenang untuk membentuk departemen dan badan-badan eksekutif .Selanjutnya Kongres juga memiliki wewenang untuk melakukan “impeachment” dan mencopot Presiden  dari jabatannya karena  telah melakukan kejahatan dan pelanggaran berat.
Mahkamah Agung ditunjuk oleh Presiden , dengan konfirmasi Senat.  Secara tradisional , Mahkamah Agung memiliki 9 anggota, tetapi Kongres dapat menentukan  jumlah hakim. Lebih penting lagi , Kongres dapat membentuk  pengadilan federal tingkat bawah  maupun pengadilan banding.  Kongres harus membentuk pula  jumlah hakim dan menentukan jurisdiksi pengadilan federal. Namun demikian yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agung  mempunyai wewenang untuk  melakukan “Judicial Review”. Judicial Review secara spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup wewenang untuk menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat Kongres dan kebijakan Presiden  melanggar konstitusi.
Aroma politik dalam praktek birokrasi berkaitan erat dengan kenyataan bahwa perjuangan politik (political battles) tidak akan berhenti di lembaga parlemen. Hal ini bertentangan dengan teori bahwa “democracy is institutionalization of conflicts” (Muladi, Politik, Hukum, dan Politik Hukum Tahun 2002 ).
Yang dapat dikatakan adalah telah terjadi pergeseran perjuangan politik dari arena politik ke arena administrative. Kepentingan-kepentingan yang terorganisasi tidak akan puas hanya dengan telah berhasil diundangkannya suatu Undang-undang sebagai hasil proses politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu implementasi hukum (implementation of the law)  dan penggunaan  uang oleh aparat birokrasi.
Kekuatan birokrasi sangat meyakinkan. Secara politis memang Presiden dan Parlemen  menentukan keberadaan Undang-undang, tetapi secara administrative dan implementatif  yang berperanan adalah birokrasi. Sebagai contoh di Amerika Serikat dengan 3 juta pegawai pemerintah federal, birokrasi federal  setiap tahun mengeluarkan  60.000 halaman peraturan birokrasi (overregulation ). Mereka bahkan independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat. Bahkan boleh dikatakan bahwa “Civil Service bureaucracy is a major base of power in society”.
Birokrasi tumbuh bersamaan dengan berkembangnya teknologi dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh tehnokrat sangat dirasakan baik di sector publik (pemerintahan) dan sector privat (korporasi). Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi, lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya.  Semuanya membutuhkan spesialis. Kekuatan birokrasi lain terletak pada  kenyataan bahwa Undang-undang yang  dihasilkan oleh Presiden dan parlemen seringkali  bersifat samar atau tidak jelas serta mendua  (vague and ambiguous). Tegasnya bersifat simbolik (symbolic reasons). Justru birokrasilah yang mempunyai kesempatan dan kewenangan  melalui Peraturan Pemerintah,  Keputusan Presiden dan  Keputusan Menteri untuk memutuskan apakah yang seharusnya dilakukan.  Dalam kerangka ini sangat mudah bagi para politisi untuk menyalahkan birokrasi . Dalam perkembangannya kemudian birokrasi sendiri semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU termasuk pendanaan.  (bureaucracy is self perpetuating).
Parlemen sebagai lembaga politik sebenarnya mempunyai senjata atau cara untuk membatasi kewenangan birokrasi, seperti (a)  melalui undang-undang  yang membatasi kewenangan birokrasi; (b) mengurangi budget birokrasi; (c)  melalui dengar pendapat umum  dengan pemberitaan mass media luas tentang suatu kebijakan yang dianggap “unpopular”; dan (d) mendiskusikan keluhan-keluhan yang diarahkan terhadap birokrasi.
Terlepas dari motif politik yang  diarahkan untuk membatasi kewenangan birokrasi, namun secara obyektif kecenderungan terjadinya “overregulation” (contoh di bidang ekonomi dan industri) sebagai produk birokrasi patut diwaspadai, sebab akan menimbulkan : (1) Peningkatan biaya (terutama di bidang bisnis) baik bagi pelaku bisnis maupun konsumen  apabila peraturan ekonomi yang kompleks ditaati; (2) “The cost of compliance” dengan adanya peraturan baru sulit ditimbang dibandingkan dengan  keuntungan masyarakat; (3) “Overregulation” menciptakan   kendala bagi berkembangnya inovasi dan produktivitas; dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sebab birokratisasi hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang besar dan kuat.
Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy)  di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian (sub-sistem) kebijakan social (social policy) yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang “lingkaged” satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan  social (social welfare policy) dan kebijakan perlidungan social (social defence policy).
Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa mengkaji secara akurat kebijakan social, sebab justru akar permasalahan yang akan diatasi dengan politik hukum terdapat dalam masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan strategis masyarakat yang memerlukan  perlindungan dan pengaturan  hukum dalam kerangka menciptakan kedamaian masyarakat. Kebutuhan strategis tersebut bisa bersumber dari kehidupan politik, kehidupan budaya, kehidupan social atau kehidupan ekonomi, yang seringkali antara satu dengan yang lain terjadi “interface” (interaksi, interkoneksi dan interdependensi). Dengan demikian tidak berkelebihan untuk menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi strategis dalam masyarakat yaitu sebagai mekanisme pengintegrasi (law as integrative mechanism). Juga tidak berkelebihan apabila ada hipotesis bahwa  antar hukum dan ilmu-ilmu social (social sciences) harus ada kemitraan yang simbiotik (symbiotic partnership),  antara hukum dan ilmu-ilmu social.
Kemitraan tersebut harus dibangun atas dasar prinsip saling menghormati (resiprocal influences) dan bukan dalam  bentuk  peningkatan “intra-disciplinary communication” dan mengurangi “inter-disciplinary exchanges” dalam pemikiran.           Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di bidang social, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum dan ilmu social), sehingga pelbagai informasi yang bersumber dari keduanya  tidak selalu bertemu (converge) bahkan seringkali  tidak sama dan sebangun (incongruent).
Riset di bidang hukum  mempunyai landasan  asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan pengetahuan  untuk menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berobah (changing society).  Di lain pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan social  secara relatif memiliki pemahaman yang lebih mendalam  terhadap perobahan social, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perobahan hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan tehnis di bidang hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk mengajukan konsep perobahan. Memang spesialisasi dan independensi telah meningkatkan “intra-disciplinary communication”, tetapi sekaligus juga memangkas “inter-disciplinary exchanges in ideas”.
Riset di bidang hukum  mempunyai landasan  asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan pengetahuan  untuk menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berobah (changing society).  Di lain pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan social  secara relatif memiliki pemahaman yang lebih mendalam  terhadap perobahan social, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perobahan hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan tehnis di bidang hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk mengajukan konsep perobahan. Memang spesialisasi dan independensi telah meningkatkan “intra-disciplinary communication”, tetapi sekaligus juga memangkas “inter-disciplinary exchanges in ideas”.
Bahkan fakultas hukum dan fakultas ilmu social secara eksklusif terpisah dan sebagai hasilnya, para mahasiswa masing-masing fakultas tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan untuk menjembatani dua disiplin tersebut.
Sebagai contoh adalah perkembangan pemahaman tentang politik reformasi hukum (the politics of law reform).  Sebelum era reformasi, pembaharuan hukum selalu diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai produk hukum  kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah refomasi, disamping usaha tersebut dilanjutkan muncul dimensi baru dari “law reform”, yakni  sebagai usaha sistematik untuk melakukan demokratisasi system hukum (democratization of legal system). Hal ini mencakup langkah-langkah mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur system politik, menciptakan “good governance”, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan partisipasi masyarakat dan sebagainya.
Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka system hukum (legal system) yang mencakup  elemen-elemen sebagai berikut :
a.       Elemen struktur hukum (legal structure) yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian  struktur diartikan sebagai “ a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action”. (Friedman, 1979).  Dengan demikian elemen struktur hukum  merupakan semacam mesin (machine);
b.      Elemen substansi hukum (legal substance) yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan, norma dan perilaku  orang-orang  di dalam system. Pada intinya merupakan hukum (the law) yang mengatur pelbagai norma, nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di sini “living law” yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Substansi hukum  bisa difahami dengan melihat misalnya berapa orang yang ditahan karena tindak pidana narkotika per tahun, gambaran statistik kejahatan seksual di suatu daerah dan sebagainya. Dengan demikian “legal substance” berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin  atau struktur hukum di atas. (substance is what the machine manufactures or does);
c.       Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai “people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations”. Dengan kata lain hal ini merupakan bagian dari “general culture” yang berkaitan dengan system hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi, para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan, untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kajahatan komputer di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan, hal ini semua merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian “legal culture” merupakan  “whatever or whoever decides  to turn the machine (the legal structure)  on and off, and determines how it will be used. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komuniti mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and opinions about law). Harus dipahami pula berkembangnya pelbagai “subcultures”, misalnya di Amerika  sub kultur orang hitam dan putih, tua dan muda, Kristen dan Islam, kaya dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa dan kota dan sebagainya. Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan adalah “the legal culture of insiders”, misalnya saja kultur yang dihayati oleh hakim dan penasehat hukum yang bekerja di dalam system hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi effektivitas sistem hukum tersebut.
Dari sisi ketahanan nasional hal ini sangat berarti, karena seluruh aktor yang terlibat dalam pencapaian cita-cita dan tujuan nasional, baik pemerintah (negara), lembaga masyarakat dan lembaga privat harus dilibatkan dalam mengelola segala resources baik dengan pendekatanengineering resilience; ecological resilience maupun anticipatory resilence, mengahadapi kehidupan nasional, regional dan internasionmal yang semakin kompleks, unpredictable dan penuh dengan hal-hal yang bersifat surprised (Muladi, 2006).   Keterlibatan dan intertwine ketiganya harus dilandasi  semangat sinergis, bukan  dalam posisi bersaing dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Itulah sebabnya pengertian good, yang sekaligus mengandung makna smart, di samping mengandung nilai-nilai effisien dan effektif, juga selalu mendayagunakan soft dan hard power, melalui supremasi hukum.
Prinsip-prinsip good governance di samping supremasi hukum dan good governance  sama-sama merupakan nilai dasar demokrasi, nampak bahwa elemen kepastian hukum/supremasi hukum/taat hukum/rule of law/aturan hukum/penegakan hukum, selalu menonjol sebagai karakteristik good governance.

Yang harus dicatat saat ini adalah :
1)      sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, banyak sekali  langkah-langkah politik (legislasi dan kebijakan) yang telah dilakukan untuk menegakkan nilai dasar demokrasi, termasuk supremasi hukum dan usaha menegakkan pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif;
2)      kebaradaan supremasi hukum dan good governance merupakan indeks daya saing (competitiveness index) dalam kehidupan antar bangsa (institutions variable) yang berpengaruh terhadap penilaian bangsa lain terhadap Indonesia, termasuk elemen prediktabilitas dalam hubungan politik, ekonomi, sos-bud, militer dll; ranking daya saing Indonesia pada tahun 2008-2009 adalah no. 55 dari 134 negara;
3)      kualitas kelembagaan dan peran tiga pilar good governance (pemerintah, civil society dan sektor swasta) masih belum memuaskan dan harus terus ditingkatkan, khusunya  dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.

3.Kerangka Konseptual

Istilah “politics” dapat diartikan sebagai “the human interactions involved in the authoritative allocations of values for society. It involves people deciding, or having decided for them, how to distribute material goods and services, or even  symbolic values, and it includes the procedures and “power plays” involved in reaching, those decisions.” (Muladi, Politik, Hukum, Politik Hukum I, II, III, IV, V, VI, Tahun 2002).
Politik dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik  akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai  konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa  yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya  dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi  dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
Dalam system politik (political system), para  pengambil keputusan (decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input)  berupa tuntutan (demands)  dari kelompok-kelompok kepentingan(interest groups) dan dukungan (support)  masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs)  berupakeputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk yang utama yaitu :  pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap system politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk system politik (the product of political system).
Demikian pula apa yang dinamakan politik hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik sosial (social policy).
Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas system politik yang memegang kendali pemerintahan.

4.      Landasan Teori

Teori dan asas hukum merupakan mekanisme pengendali untuk secara relatif menjaga agar supaya distorsi terhadap pendayagunaan hukum sebagai kebijakan dan langkah politik tidak terjadi, dan memfungsikan hukum secara konsisten sebagai salah satu pilar utama demokrasi.  Teori, yang merupakan hubungan antar variable yang telah didukung oleh riset ilmiah, baik yang bersumber pada  disiplin ilmu pengetahuan yang baku(disciplines) maupun yang bersumber pada pelbagai ilmu bantu (allied science),  secara sistemik dan berkelanjutan akan terus memperkaya kebijakan social, baik yang berupa kebijakan kesejahteraan maupun kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya menggambarkan (to describe), menjelaskan (to explain), merenungkan (to contemplate), mengungkap (to reveal), tetapi juga memprediksi (to predict) apa yang akan terjadi di masa depan. Integritas teori dijamin dari karakteristik intelektual yang menghormati “academic freedom” dan “academic culture” yang diharapkan selalu memberikan pencerahan atas dasar kebenaran (truth) dan bukan pembenaran (justification).
Selanjutnya asas-asas hukum (legal principles, rechtsbeginselen) merupakan ukuran legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum (Muladi, 2003). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat transcendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera.  Asas-asas ini bersifat “open-ended, multi-interpretable,  dan Gesellschaftsgebunden” dan bukannya bersifat absolut.  Hal ini kadang-kadang berkonotasi negatif karena konstelasi politik di suatu saat bisa berpengaruh. Ingat konsep negara integralistik   yang mendistorsi asas negara hukum (equaity before the law).
Asas-asas hukum adalah tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum (Paul Scholten).
Asas-asas hukum adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan , yang hidup di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang (Buscaglia, 2003)
Asas-asas hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan menyelidiki pikiran-pikiran yang memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan dalam perundang-undangan dan yurisprudensi, dan untuk sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Wiarda).
Theori tentang Effektivitas penegakkan hukum (law enforcement, Joseph golstein, 1998) dikaitkan dengan teori tentang legal system dari Friedmann.
  1. Penegakkan hukum pada hakikatnya harus menegakkan semua spirit hukum, baik yang berkaitan dengn nilai-nilai yang mendasari norma hukum, maupun norma hukum itu sendiri. Cita-cita tersebut sulit dicapai, karena hukum harus menjaga keseimbangan  antara kepentingan public dan kepentingan warganegara. Dengan demikian penegakan hukum tahap ini yang disebut penegakkan hukum total (total enforcement) tidak mungkin tercapai, sebab dibatasi dengan pelbagai ketentuan hukum acara  yang mengaturnya;
B.     Penegakan hukum total terebut setelah dikurangi dengan pelbagai pembatasan yang ditur dalam hukum acara  tersebut menampilkan apa yang dinamakan konsep penegakan hukum yang penuh (full enforcement), yang diharapkan akan dapat ditegakkan secara effektif. Namun ternyata hukum selalu mengenal  keterbatasan baik karena kualitas hukum yang tidak sempurna; kualitas sumberdaya manusia yang berkaitan dengan mental atau intelektualitasnya; keterbatasan dalam sarana dan prasarana hukum yang tersedia; atau karena partisipasi dari masyarakat yang kurang memadai. Dengan demikian yang tampil adalah pelbagai diskresi (kebijaksanaan)  hukum yang dilakukan oleh pra penegakan hukum karena kondisi di lapangan;
C.     Kekurangan-kekurangan tersebut menampilkan apa yang disebut penegakan hukum actual (actual Enforcement) yang dirasakan memiliki pelbagai kekurangan dari sisi substansi, struktur maupun budaya hukum ini adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan;
D.    Diskresi hukum yang terjadi dilapangan tersebut apabila dikaji dengan baik, justru akan sangat bermanfaat bagi pembaharuan hukum (law reform); law reform tersebut akan merupakan penemuan penelitian yang merupakan feed back peneggakan hukum, berupa peta pembaharuan hukum .
Teori Legal system, dari Friedman; Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka system hukum (legal system) yang mencakup  elemen-elemen sebagai berikut :
A.    Elemen struktur hukum (legal structure) yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian  struktur diartikan sebagai “ a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action”. (Friedman, 1979).  Dengan demikian elemen struktur hukum  merupakan semacam mesin (machine);
B.     Elemen substansi hukum (legal substance) yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan, norma dan perilaku  orang-orang  di dalam system. Pada intinya merupakan hukum (the law) yang mengatur pelbagai norma, nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di sini “living law” yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Dengan demikian “legal substance” berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin  atau struktur hukum di atas. (substance is what the machine manufactures or does);
C.     Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai “people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations”. Dengan kata lain hal ini merupakan bagian dari “general culture” yang berkaitan dengan system hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi, para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan, untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kajahatan komputer di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan, hal ini semua merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian “legal culture” merupakan  “whatever or whoever decides  to turn the machine (the legal structure)  on and off, and determines how it will be used. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komuniti mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and opinions about law).

5.      Penutup.
Ketahanan politik hukum dewasa ini cenderung menurun yang disebabkan oleh berbagai faktor terutama aspek kehidupan politik nasional, kondisi politik di daerah, penegakan hukum yang belum sesuai, dan perkembangan lingkungan strategis. Selain itu, tingkat ketahanan politik hukum, sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan nasional dan pembangunan daerah, oleh karena itu harus dilaksanakan secara terencana, terintegrasi dan terkoordinasi.
Ketahanan politik yang tangguh dapat digambarkan oleh kebijakan  politik hukum pemerintahan negara yang seimbang, selaras dan serasi dengan aspirasi/keinginan masyarakat. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah harus berkeadilan dan berpihak kepada daerah dan masyarakat selaku pemegang kedaulatan sehingga ketahanan nasional secara keseluruhan akan meningkat.
Untuk itulah diperlukan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1.    Pemerintahan berdasarkan konstitusi. Konstitusi di samping produk hukum juga merupakan dokumen organik pemerintahan  yang mengatur kekuasaan dari pilar-pilar  yang berbeda sekaligus acuan batasan kewenangan pemerintah;
2.    Pemilihan umum yang demokratis. Pejabat yang memimpin pemerintahan  dipilih secara bebas oleh warganegara dalam cara yang terbuka dan jujur; akses bagi semua warganegara;
3.    Desentralisasi kekuasaan atau tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah agar semakin dekat dengan  rakyatnya, maka ia akan semakin  effektif dan semakin dapat dipercaya.  Prinsip demokrasi mengharuskan desentralisasi kekuasaan dan tanggungjawab, terutama di negara besar seperti Indonesia dengan wilayah luas  serta heterogin;
4.    Pembuatan undang-undang  memerlukan masukan  yang besar dari warganegara baik langsung atau tidak langsung.  Kuncinya bukan pada tata cara atau forum yang menghasilkan, tetapi pada sifat keterbukaan prosesnya bagi warganegara dan perlunya pemahaman terhadap harapan rakyat;
5.    Sistem peradilan yang independen. Hakim tidak boleh terganggu oleh politik. Pengadilan juga menjadi pembela terbesar hak-hak individu;
6.    Kekuasaan lembaga kepresidenan . Pimpinan eksekutif harus mampu memikul tanggungjawab pemerintahan, mulai dari administrasi sederhana sebuah program sampai dengan menggerakkan angkatan bersenjata untuk membela Negara semasa perang, ataupun mendapat gangguan dan ancaman dari Negara lain / tetangga.  Pada saat yang sama konstitusi harus membatasi kewenangannya  atas dasar prinsip pemisahan kekuasaan untuk mencegah kediktatoran. Presiden di samping harus cakap, juga  harus bisa bekerjasama  dengan lembaga legislative  dan rakyat. Presiden merupakan abdi dan bukannya majikan bagi rakyat;
7.    Peran media massa yang bebas. Surat kabar, radio dan televisi yang bebas akan terkait dengan hak publik untuk tahu,. Media masa harus bisa menginvestigasi jalannya pemerintahan dan melaporkannya tanpa takut adanya penuntutan. Pers yang bebas merupakan penjaga demokrasi. Pers adalah pengganti warga, melaporkan kembali melalui media cetak dan penyiaran apa yang ditemukannya sehingga masyarakat bisa bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Dalam masyarakat modern dan kompleks, rakyat bergantung pada pers. Pembungkaman media merupakan salah satu indicator kediktatoran;
8.    Peran strategis kelompok-kelompok kepentingan. Dengan semakin kompleksnya masyarakat modern, maka agar suara rakyat didengar perlu dibentuk kelompok-kelompok lobi, kelompok-kelompok penyokong kepentingan publik dan swasta, serta  LSM yang khusus bekerja untuk satu masalah. Mereka juga mendidik publik dan pembuat undang-undang tentang masalah tertentu, apalagi dengan bantuan IT seperti internet;
9.    Hak masyarakat untuk tahu. Dalam hal ini pemerintah sebisa mungkin harus terbuka, yang artinya, gagasan dan keputusannya harus terbuka bagi pengujian publik secara seksama. Misalnya bagaimana uang pajak digunakan, apakah penegakan hukum efisien dan efektif, apakah wakil-wakil rakyat bertindak secara bertanggungjawab.  Tidak ada pemerintahan demokratis yang bisa bekerja dalam kerahasiaan. Namun demikian hak unuk memperoleh informasi juga ada batasannya;
1. Melindungi hak-hak minoritas. Jika demokrasi diartikan sebagai kehendak mayoritas, maka salah satu masalah besar adalah bagaimana minoritas diperlakukan. Minoritas harus diartikan dalam kerangka ras, agama atau etnis;
11. Kontrol sipil atas militer. Dalam demokrasi militer bukan hanya harus berada di bawah kontrol kewenangan sipil sepenuhnya, namun ia juga harus memiliki budaya yang menegaskan bahwa peran tentara adalah abdi dan bukannya penguasa masyarakat. Tugasnya melindungi demokrasi dan bukan menguasainya.